• Ahlan

    Kisah Tiga Santri Mengunjungi New York

    Tiga orang santri yang bersahabat karib, mengunjungi salah satu kota paling masyhur di dunia. New York. Kota yang menyambut mereka dengan segala kemegahan dan riuh-rendahnya. Mereka memutuskan untuk menginap di hotel terbaik dan mendapatkan kamar di lantai enam puluh sebuah gedung pencakar langit yang tingginya “Masya Alloh...!”

    Kebijakan hotel sangat tegas. Setiap tamu disarankan pulang sebelum tengah malam, karena lift dimatikan pada pukul 24.00. Itulah pemberitahuan yang mereka terima persis sebelum ‘hang out’. Mereka berniat menelusuri keindahan kota besar yang sebelumnya hanya ada dalam angan-angan.

    Acara jalan-jalan ternyata sangat mengasyikkan. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa oleh para santri yang mendadak sontak jatuh cinta pada keindahan kota. Mereka mengunjungi berbagai tempat hingga lewat tengah malam. Tiba di hotel, mereka harus menerima kenyataan, lift sudah dimatikan.

    “Tak apa, Akhi, kita lewat tangga yang tersedia saja,” kata salah satunya menenangkan, “pada dua puluh lantai pertama biar kuceritakan kisah-kisah lucu dan jenaka!” Kedua sahabatnya tersenyum tanda setuju. “Betul, Akhi, kita ikhlaskan saja,” timpal sahabatnya, “dan di dua puluh lantai berikutnya akan kuceritakan kisah-kisah hikmah.” Kedua karibnya mengangguk-angguk. “Kalau begitu, di dua puluh lantai terakhir, akan kuceritakan kisah-kisah sedih dan muhasabah, Saudara-saudaraku….” santri terakhir mengambil bagiannya.

    Mereka memulai dua puluh lantai pertama pendakian dengan gembira. Kisah-kisah lucu menjadi penghibur yang memancing tawa, mengurangi beban akibat mulai membanjirnya keringat dan rasa pegal yang melanda. Di dua puluh lantai berikutnya mereka mendapatkan banyak hal dan hikmah kehidupan. Susah payah, akhirnya mereka akan mulai menapaki dua puluh lantai terakhir.

    “Akan kumulai… hhh… kisah sedihku, dengan...,” kata santri yang mengambil giliran terakhir bercerita, “aku lupa..., kunci kamar kita tadi ketinggalan di mobil….”

    Dua puluh tahun pertama kehidupan, kita lalui dengan tawa dan ceria, menikmati semua yang ada di luar sana. Dua puluh tahun berikutnya kita harus bijak mengambil hikmah kehidupan, kala berkutat dengan kerja, rumah tangga, dan anak-anak. Dua puluh tahun berikutnya lagi, kita mulai menemukan uban dan berpikir tentang “akhir dari semua ini”. Alangkah lebih baiknya, jika kita memulai perjalanan dengan mengingat bahwa semua ini akan berakhir, dan tidak menangguhkan ketaatan kepada-Nya di masa-masa akhir, ketika sebagian dari kita tidak punya energi untuk melakukannya.

    Tulisan ini diterjemahkan bebas oleh @yoezka, dari laman islamcan.com

    No comments:

    Humor Kyai

    Humor Santri

    Humor Pontren